BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem
perbankan dalam ekonomi Islam didasarkan pada konsep pembagian baik keuntungan
maupun kerugian. Prinsip yang umum adalah siapa yang ingin mendapatkan hasil
dari tabungannya, harus juga bersedia mengambil resiko. Bank akan membagi juga
kerugian perusahaan jika mereka menginginkan perolehan hasil dari modal
mereka.
Ide
pendirian Bank Syari’ah dinegara-negara Islam tidak terlepas dari kontroversi
seputar praktek bunga bank yang dilakukan pada bank-bank konvensional yang
beredar di negara-negara Islam sendiri. Pada abad ke 20 timbul kesadaran di
kalangan umat Islam untuk melepaskan diri dari imperialisme Barat, membawa
dampak yang cukup luas dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi.
Dalam dunia
ekonomi, negara-negara Islam ingin melepaskan diri dari konsep ekonomi yang
berasal dari negara-negara Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam,
antara lain adalah persoalan bunga bank. Oleh karena itu, dipandang perlu
adanya bank syari’ah yang bebas dari praktek bunga.
Ide
pendirian bank syari’ah di Indonesia tidak terlepas dari adanya wacana yang
terus bergulir tentang pendirian bank-bank syari’ah di negara-negara Islam. Ide
pendirian perbankan syari’ah di Indonesia dapat dilihat dari berbagai keputusan
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan maupun pandangan dari para intelektual
Islam di Indonesia.
Bank syai’ah
sebagai suatu bentuk bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil secara
internal memiliki kekuatan dan kelemahan. Sedangkan dalam kancah bisnis yang
penuh persaingan, BPR Syari’ah menghadapi beberapa peluang dan tantangan.
Kekuatan dan peluang dapat dioptimalka. Kelemahan dan ancaman dapat
diminimalkan jika dalam pengelolaan bank syari’ah dilakukan secara profesional
dan kredibel. Syarat ini diperlukan agar operasional bank syari’ah dapat
efisien.
Efisiensi
sebuah bank syari’ah akan turut dinikmati pula oleh nasabahnya, yang notabene
memang menuntut efisiensi. Pada gilirannya, efisiensi memungkinkan lembaga
keuangan yang bersangkutan untuk bertahan dan berkembang, sehingga menambah
kredibilitasnya lebih lanjut. Bank syari’ah yang tidak kredibel atau tidak
profesional niscaya tidak akan bisa langgeng, konon pula untuk berkembang.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah yang menjadi bahasan dalam materi perkembangan perbankan syari’ah di
Indonesia ini antara lain yaitu :
1.
Bagaimana sejarah perkembangan
perbankan syari’ah di dunia ?
2.
Bagaimana latar belakang berdirinya
perbankan syari’ah di Indonesia ?
3.
Berapa jumlah bank umum syari’ah
yang beroperasi di Indonesia ?
4.
Berapa jumlah unit usaha syari’ah
yang beroperasi di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN PERBANKAN
SYARI’AH DI INDONESIA
A.
Latar
Belakang Bank Syari’ah
Berkembangnya bank-bank
syari’ah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode
1980-an, diskusi mengenai bank syari’ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai
dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A.
Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien azis, dan
lain-lain. Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan.
Di antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung, yang sempat tumbuh
mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk koperasi,
yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa
lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun
1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990
menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa
Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional
I MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990.
Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank
Islam di Indonesia.
Kelompok kerja yang
disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan
semua pihak terkait untuk menggali ide dan dukungan guna berdirinya perbankan
yang bercirikan Islam. Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim
Perbankan MUI tersebut. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia
ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penandatanganan akte
pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar.
Pada tanggal 3 November
1991, dalam acara silaturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan
total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,00. Dengan modal
awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai
beroperasi. Hingga September 1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih
dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
Balikpapan, dan Makassar.
Pada awal pendirian
Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini belum mendapat perhatian
yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi
bank yang menggunakan sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai “bank
dengan sistem bagi hasil”, tidak terdapat rincian ladasan hukum syari’ah serta
jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU
No.7 Tahun 1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil
diuraikan hanya sepintas dan merupakan “sisipan” belaka.[1]
Perkembangan industri
keuangan secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum
formal sebagai landasan operasional Perbankan Syari’ah di Indonesia. Sebelum
tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah
menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut
menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan
yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syari’ah.
Untuk menjawab
kebutuhan masyarakat bagi terwujudnya sistem perbankan yang sesuai syari’ah,
pemerintah telah memasukkan kemungkinan tersebut dalam undang-undang yang baru.
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan secara implisit telah membuka peluang
kegiatan usaha perbankan yang memiiki dasar operasional bagi hasil yang secara
rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Ketentuan perundang-undangan tersebut telah
dijadikan sebagai dasar hukum beroperasinya Bank Syari’ah di Indonesia yang
menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (Dual Banking System) di Indonesia.[2]
Dalam periode 1992
sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syari’ah dan 78 bank
perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998,
dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem
Perbankan Syari’ah. Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat
pula menjalakan tugasnya berdasarkan prinsip syari’ah. Industri Perbankan
Syari’ah berkembang lebih cepat setelah
kedua perangkat perundang-undangan tersebut diberlakukan.
B.
Perkembangan
Perbankan Syari’ah
Sejarah perkembangan perbankan syari’ah
dunia periode antara tahun 1940 sampai periode tahun 1980 menurut Duddy
Roesmara Donna (2007:3-4) disajikan sebagai berikut :[3]
Tahun
|
Keterangan
|
1940
|
Rintisan
Bank Syari’ah di Malaysia, untuk mengelola dana jamaah haji secara
non-konvensional.
|
1963
|
Berdirinya
Mit Ghamr Real Bank, di Mesir, oleh Dr. Ahmad Najar.
|
1967
|
Mit
Ghamr ditutup arena alasan politis dan diambil alih oleh National Bank of
Egypt.
|
1969
|
Muncul
gagasan kolektif pembentukan Bank Syari’ah pada Konferensi Negara-negara
Islam se-dunia di Malaysia.
|
1970
|
Delegasi
Mesir mengajukan proposal pendirian Bank Syari’ah pada Sidang Menteri Luar
Negeri Negara-negara OKI di Karachi.
|
1972
|
Berdiri
kembali sistem bank tanpa bunga yang bersifat sosial di Mesir, yaitu Nasser
Social Bank.
|
Maret
1972
|
Usulan/proposal
Delegasi Mesir diagendakan kembali dan memutuskan membentuk komisi khusus
menangani masalah ekonomi dan keuangan.
|
Juli
1973
|
Para
ahli yang mewakili Negara Islam penghasil minyak membicarakan Pendirian Bank
Syari’ah dan terumuskanlah Anggaran Dasar dan Anggaaran Rumah Tangga.
|
Mei
1974
|
Pembahasan
AD/ART yang telah dirumuskan.
|
1974
|
Berdiri
Islamic Development Bank dengan modal awal 2 miliar Dinar atau sama dengan 2
miliar SDR (Special Drawing Rights) IMF.
|
Awal
1980-an
|
Bermunculan
Lembaga Keuangan Syari’ah di Mesir, Sudan, negara-negara di wilayah Teluk,
Malaysia, Pakistan, Inggris, Denmark, Bahmas, Swiss dan Luxembourg.
|
Terkait dengan perkembangan perbankan
syari’ah di Indonesia periode tahun 1970 sampai dengan tahun 2003, menurut
Duddy Roesmara Donna (2007:3-4) dapat dirunut melalui kronologis sebagai
berikut :
Tahun
|
Keterangan
|
1970-an
|
Muncul
gagasan pendirian Bank Syari’ah
|
1988
|
Muncul
lagi gagasan Bank Syari’ah karena pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Namun, gagasan
tersebut deadlock karena tidak ada perangkat hukum yang dapat menjadi
rujukan.
|
19-22
Agustus 1990
|
Lokakarya
Ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor.
|
22-25
Agustus 1990
|
Pembahasan
hasil lokakarya pada Munas IV MUI di Jakarta dan terbentuklah Kelompok Kerja
Pembentukan Bank Syari’ah.
|
1
November 1991
|
Penandatanganan
Akte Pendirian Bank Muamalah Indonesia dan terkumpulah komitmen pembelian
saham sebanyak 84 miliar.
|
3
November 1991
|
Silaturrahim
dengan presiden di Istana Bogor dan Terpenuhilah komitmen modal disetor awal
sebesar Rp.106.126.382.000.
|
1
Mei 1992
|
Operasional
awal Bank Muamalat Indonesia (BMI).
|
1992
|
Pengakomodasian
perbankan dengan prinsip bagi hasil pada Undang-undang No.7 Tahun 1992
tentang perbankan.
|
1992
|
Pengenalan
dual banking system.
|
30
Oktober 1992
|
Peraturan
Pemerintah (PP) No.72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
|
129
Februari 1993
|
PP
tersebut dijabarkan secara terperinci dengan keluarnya Surat Edaran BI
No.25/4/BPPP.
|
1994
|
BMI
men-sponsori berdiriya Asurasi Syari’ah, Syarikat Tafakul Indonesia dan
menjadi salah satu pemegang sahamnya.
|
1997
|
BMI
men-sponsori lokakarya Ulama tentang Reksadana Syari’ah yang diikuti
operasionalnya dengan dikelola oleh PT. Danareksa Investment Management.
|
1998
|
Undang-undang
No.10 Tahun 1998 tentang perbankan, merubah Undang-undang No.7 Tahun 1992
yang mengakomodasi perkembangan perbankan secara lebih luas.
|
1999
|
Kebijakan
moneter berdasarkan prinsip syari’ah.
|
2000
|
Keluarnya
regulasi operasional dan kelembagaan.
|
2001
|
Pendirian
Biro Perbankan Syari’ah Bank Indonesia.
|
September
2003
|
Perubahan
Biro Perbankan Syari’ah menjadi Direktorat Perbankan Syari’ah BI.
|
Statistik Perbankan Syari’ah yang
dirilis oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa sampai dengan bulan November
tahun 2007, jumlah bank syari’ah mencapai 143 bank. Dari ke 143 bank tersebut,
tiga diantaranya merupakan Bank Umum Syari’ah (BUS), dan 26 bank diantaranya
merupakan Unit Usaha Syari’ah (UUS), serta 114 sisanya merupakan Bank
Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS). Terkait dengan kondisi saat ini,
diperkirakan pertumbuhan bank umum syari’ah, unit usaha bisnis syari’ah (unit
bisnis bank konvensional), maupun bank perkreditan rakyat syari’ah, meningkat.
Artinya jumlah bank syari’ah naik dari tahun ke tahun.
C.
Perkembangan
Bank Umum Syari’ah
Bank umum syariah (BUS) adalah bank yang secara penuh
bertransaksi secara syariah dan bukan merupakan unit usaha. Bank umum pertama
yang menggunakan sistem syariah di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang mulai beroperasi pada tahun 1992. Perkembangan bisnis bank syariah
berlangsung lambat, sampai dengan lima tahun kedepan belum ada pertambahan bank
baru. BMI masih menjadi satu-satunya bank syariah.
Baru pada Tahun 1998 pasar bank syariah mulai
diramaikan dengan hadirnya PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) anak perusahaan Bank
Mandiri, bank BUMN terbesar di Indonesia. Selanjutnya menyusul kemunculan PT.
Bank Mega Syariah pada tahun 2001. Memasuki tahun 2009 ini ada dua bank
baru memasuki pasar perbankan syariah yaitu PT. Bank Bukopin Syariah dan PT.
BRI Syariah.
Saat ini, jumlah BUS yang beroperasi menjadi 5 bank
yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank
Bukopin Syariah dan Bank BRI Syariah. Bank umum syariah (BUS) menerapkan sistem
independent pada sistem perbankan syariahnya.
Bank syari’ah yang dikategorikan Bank Umum Syari’ah
adalah :
1.
Bank Muamalat Indonesia
2.
Bank Syari’ah Mandiri
3.
Bank Syari’ah Mega Indonesia
Adapun bank
syari’ah yang dikategorikan sebagai unit usaha syari’ah dari bank konvensional
adalah :
1.
Bank IFI Syari’ah
2.
Bank Danamon Syari’ah
3.
BRI Syari’ah
4.
Bank Niaga Syari’ah
5.
Bank Permata Syari’ah
6.
BNI Syari’ah
7.
BII Syari’ah
8.
Bank Riau Syari’ah
9.
Bank Jabar Syari’ah
10.
BPD Sumut Syari’ah
11.
BPD DKI Syari’ah
12.
BPD Lombak NTB
13.
BPD Aceh Syari’ah
14.
BPD Kalsel Syari’ah
15.
HSBC Syari’ah
16.
BTN Syari’ah (Buku Laporan Perbankan
Syari’ah, 2004).
Tabel
1
Jaringan Kantor Perbankan Syari’ah di
Indonesia
(Tahun
2000-2004)
|
|||||
Kelompok Bank
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
BUS
|
2
|
2
|
2
|
2
|
3
|
UUS
|
3
|
3
|
6
|
8
|
15
|
Jumlah Kantor
|
62
|
96
|
127
|
253
|
355
|
BPRS
|
78
|
81
|
83
|
84
|
88
|
Total
|
140
|
177
|
210
|
337
|
443
|
Sumber : BI,
Laporan Perkembangan Perbankan Syari’ah Tahun 2004, , Januari 2005.
Catatan :
Pada bulan Februari 2005, jumlah UUS bertambah 1 lagi, yakni BTN Syari’ah, sehingga
Jumlahnya menjadi 16. Jadi, total bank syari’ah di Indonesia mencapai 19 buah.
Keterangan :
BUS : Bank
Umum Syari’ah
UUS : Unit
Usaha Syari’ah
BPRS : Bank
Perkreditan Rakyat Syari’ah
Perkembangan perbankan syari’ah ini
tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa
masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat di institusi syari’ah
tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam Islamic Banking. Tentunya kondisi ini cukup signifikan mempengaruhi
produktivitas dan profesionalisme perbankan syari’ah itu sendiri. Inilah yang
memang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya
insani yang mampu mengamalkan ekonomi syari’ah di semua lini karena sistem yang
baik tidak mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya insani
yang baik pula.[5]
D.
Perkembangan
Bank Syari’ah di Indonesia
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi
ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer
bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah
menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998
telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena
kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah
dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya
itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung
akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya
dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan
memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya,
pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini
dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi
pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak
menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun
2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan syariah
sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan
syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan.
Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah
strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah
pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit
Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank
syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan
Undang – Undang perbankan No. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU No.7
tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
BAB III
PENUTUP
Setelah
kita menelusuri secara singkat perkembangan perbankan syari’ah yang dilakukan
oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata
fiqih islam tidak mengenal kata “bank”, tetapi sesungguhnya bukti-bukti
perkembangan perbankan syari’ah telah dipraktikkan umat muslim, bahkan sejak
zaman Nabi Muhammad Saw.
Praktik-praktik
fungsi perbankan syari’ah ini tentunya berkembang secara berangsur-angsur dan
mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tertentu, seiring dengan
naik-turunnya peradaban umat Muslim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
konsep bank bukanlah suatu konsep yang asing bagi umat Muslim, sehingga proses
ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang sesuai dengan syari’ah tidak
perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya ALLAH akan
menjadi lebih mudah.
DAFTAR ISI
Syafi’i Antonio Muhammad, Bank Syari’ah
dari Teori ke Praktik Jakarta : Gema Insani (Jakarta : 2001)
Yunaldi Wendra, Potret Perbankan
Syari’ah Di Indonesia Jakarta : Centralis (Jakarta : 2007)
Alma Buchari., Juni Priansa Donni,
Manajemen Bisnis Syari’ah Bandung : Alfabeta (Bandung : 2009)
Muhammad,
Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman Yogyakarta :
Ekonisia (Yogyakarta : 2006)
Warman
A. Karim Adi, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada (Jakarta : 2004)
[1] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik (Jakarta : Gema Insani,
2001) Hal. 25-26
[2] Wendra
Yunaldi, Potret Perbankan Syari’ah Di Indonesia (Jakarta : Centralis, 2007)
Hal. 17-20
[3] Buchari
Alma., Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syari’ah (Bandung : Alfabeta, 2009)
Hal. 4-6
[4]
Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman
(Yogyakarta : Ekonisia, 2006) Hal 154-155
[5] Adi
Warman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004) Hal. 25-27
Nice Blog ! For getting more information and fixing your QuickBooks issues, dial our QuickBooks Toll Free Phone Number 1-800-986-4607 for QuickBooks error.
ReplyDeleteView on Map: https://tinyurl.com/ut8xnsx
QuickBooks Update Support Phone Number
ReplyDeleteQuickBooks Payroll Support Phone Number
QuickBooks Desktop Payroll Support Phone Number
QuickBooks For Mac Support Phone Number
QuickBooks Support Phone Number Seattle
QuickBooks Support Phone Number California
quickBooks Support Phone Number Pennsylvania
QuickBooks Support Phone Number Texas
Hey! Amazing content. I love your blog. Recently I have started using QuickBooks software for my business. I love the ease and different tools provided by this software. I highly recommend others to use QuickBooks software for their business. You can get instant help and support at QuickBooks Support Phone Number Florida 1-833-401-0204. Read more: https://tinyurl.com/vz56e5v OR visit: https://www.qb-dataservices.com/quickbooks-in-florida/
ReplyDeleteHey! Outstanding post. Keep writing such appealing blogs. With QuickBooks, you can easily manage all your accounting process in one place. In case you find any inconvenience in QuickBooks software, then reach our experts via QuickBooks ProAdvisor Support Phone Number 1-833-401-0204. These experts are available 24/7 around the clock for you. Read more: https://tinyurl.com/vskk254 or visit us: https://www.mildaccounting.com/quickbooks-proadvisor-support-phone-number/
ReplyDeletehttps://www.reddit.com/user/BulkyChapter/comments/faab8z/quickbooks_payroll_support_phone_number_1_855_9o7/
ReplyDeletehttps://www.reddit.com/user/BulkyChapter/comments/faacx5/quickbooks_support_phone_number_1_8559o7o6o5/
https://www.reddit.com/user/BulkyChapter/comments/faadl7/quickbooks_helpline_number_18559o7o6_o5/
https://www.reddit.com/user/BulkyChapter/comments/faaenw/quickbooks_desktop_support_phone_number_1_855_9o7/